Beranda | Artikel
Fikih Hadiah (Bag. 1): Hukum Memberikan Hadiah kepada Orang Kafir
9 jam lalu

Pendahuluan

Pada serial sebelumnya, telah kita bahas tentang fikih hibah berikut rambu-rambu dan permasalahan fikih seputarnya. Hanya saja masih tersisa beberapa pembahasan yang belum kita bahas di dalamnya. Pada serial Fikih Hadiah ini, penulis sengaja memisahkan beberapa permasalahan seputar hibah/hadiah yang menurut pandangan masyarakat awam lebih erat dengan istilah “hadiah” daripada “hibah”; meskipun pada kenyataanya, dalam pandangan Islam, keduanya merupakan istilah yang merujuk pada makna yang sama.

Memberi hadiah (هدية / هبة) adalah akhlak mulia dalam Islam. Namun ketika penerima adalah non-Muslim atau “kafir” dalam istilah fikih, muncul pertanyaan: apakah halal memberikan hadiah kepada mereka? Bagaimana kalau pemberian itu berisiko memperkuat pihak yang memusuhi umat Islam, atau dimaksudkan untuk ikut merayakan hari ibadah mereka? Para ulama membahas masalah ini dengan memperhatikan dalil Al-Qur’an dan hadis, maqāṣid, serta realitas sosial dan niat pemberi. Untuk menegaskan jawaban yang tepat, perlu dibedakan konteks dan syarat-syaratnya. 

Batasan muamalah dengan non-Muslim

Memberi hadiah termasuk salah satu bentuk muamalah. Oleh karenanya, di dalam membahas permasalahan ini, perlu kita kembalikan kepada hukum asal muamalah dengan non-Muslim. Ayat yang menjadi landasan permasalahan ini adalah firman Allah Ta’ala,

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah: 8)

Ayat ini menunjukkan bahwa pada dasarnya, Allah tidak melarang perbuatan baik dan berlaku adil kepada orang-orang non-Muslim yang tidak memerangi umat Islam atau mengusir umat Islam dari kampung halaman. Sehingga memberi kebaikan, termasuk di antaranya adalah hadiah yang halal, diperbolehkan dalam kondisi tersebut. 

Praktik sahabat Nabi radhiyallahu ‘anhu dalam hal ini

Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu mengisahkan,

رَأَى عُمَرُ بنُ الخَطَّابِ حُلَّةً سِيَرَاءَ عِنْدَ بَابِ المَسْجِدِ، فَقالَ: يا رَسولَ اللَّهِ، لَوِ اشْتَرَيْتَهَا، فَلَبِسْتَهَا يَومَ الجُمُعَةِ ولِلْوَفْدِ، قالَ: إنَّما يَلْبَسُهَا مَن لا خَلَاقَ له في الآخِرَةِ، ثُمَّ جَاءَتْ حُلَلٌ، فأعْطَى رَسولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ عُمَرَ منها حُلَّةً ، وقالَ: أكَسَوْتَنِيهَا، وقُلْتَ في حُلَّةِ عُطَارِدٍ ما قُلْتَ؟ فَقالَ: إنِّي لَمْ أكْسُكَهَا لِتَلْبَسَهَا، فَكَسَاهَا عُمَرُ أخًا له بمَكَّةَ مُشْرِكًا

“Umar bin Khattab pernah melihat kain campuran sutera di jual dekat pintu masjid, maka dia berkata, “Wahai Rasulullah, alangkah baiknya jika anda membelinya kemudian anda kenakan pada hari Jumat, dan untuk menyambut delegasi yang datang kepada anda.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Yang mengenakan pakaian ini hanyalah orang yang tidak mendapatkan bagiannya di akhirat.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi beberapa pakaian yang di antaranya terbuat dari sutera, kemudian beliau berikan kain sutera itu kepada Umar. Umar berkata, “Wahai Rasulullah, anda memakaikannya kepadaku, padahal anda telah mengatakannya kepadaku tentang status pakaian ‘Utharid tersebut.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Aku memberikan itu bukan bermaksud untuk kamu pakai.” Maka Umar memberikannya kepada saudaranya yang masih Musyrik di Makkah.” (HR. Bukhari no. 2612)

An-Nawawi rahimahullah berkata dalam Syarh Muslim (14: 38), “Dan diperbolehkan bagi seorang Muslim untuk memberikan pakaian dan lainnya kepada orang musyrik.”

Dalil yang menguatkan juga perbuatan Umar bin Khattab adalah ijma’ sukuti (konsensus diam-diam): di mana tidak ada sahabat lainnya yang mengingkari tindakan yang telah dilakukan oleh Umar bin Khattab tersebut.

Ketentuan dan syarat penting dalam memberikan hadiah kepada non-Muslim

Hadiah bukan barang haram

Hadiah yang diberikan harus berupa barang atau hal yang diperbolehkan syariat (makanan halal, benda bukan najis, dan sebagainya). Tidak boleh memberi sesuatu yang haram seperti minuman khamr, daging haram, atau benda yang mendorong kemaksiatan seperti alat musik. Para ulama menegaskan: apa yang haram bagi Muslim juga tidak boleh diberikan sebagai hadiah kepada non-Muslim. Karena hukum asalnya, mereka juga dilarang menggunakan benda-benda tersebut.

Pendapat yang lebih kuat adalah bahwa orang kafir juga terkena kewajiban syariat. Sehingga meskipun mereka menganggap hal-hal tersebut halal bagi mereka, sejatinya di akhirat nanti mereka akan bertanggung jawab dengan dosanya. Hal ini karena pendapat ini didukung oleh dalil-dalil yang sangat kuat. Di antaranya, Allah Ta’ala berfirman,

مَا سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ ؛ قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ ؛ وَلَمْ نَكُ نُطْعِمُ الْمِسْكِينَ ؛ وَكُنَّا نَخُوضُ مَعَ الْخَائِضِينَ

“Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)? Mereka menjawab, “Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan salat. Dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin. Dan adalah kami membicarakan yang batil, bersama dengan orang-orang yang membicarakannya. Dan adalah kami mendustakan hari pembalasan. Hingga datang kepada kami kematian.” (QS. Al-Muddatstsir: 42-47)

Dalam ayat di atas, Allah Ta’ala menceritakan keadaan penduduk neraka. Sebab mereka masuk neraka adalah “mendustakan hari pembalasan”, dan ini termasuk sebab kekafiran seseorang.

Dari ayat tersebut, dapat kita pahami bahwa meskipun mereka tidak beragama Islam, di akhirat nanti Allah akan meminta pertanggungjawaban atas salat yang tidak mereka kerjakan; atas kemaksiatan yang mereka lakukan; dan atas hal-hal yang Allah haramkan, lalu tidak mereka pedulikan.

Di dalam memberikan hadiah kepada orang-orang kafir, kita juga harus melihat kehalalan hadiah tersebut, bukan atas anggapan mereka, akan tetapi berdasarkan apa yang telah menjadi ketetapan Allah kepada seluruh manusia.

Di ayat yang lainnya, Allah dengan jelas menyebutkan bahwa perintah Allah Ta’ala untuk beribadah bersifat umum kepada semua jenis manusia. Tanpa ada pengecualian satupun. Allah Ta’ala berfirman,

وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا

“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke baitullah.” (QS. Ali ‘Imran: 97)

Tidak memberi pada musuh yang memerangi umat Islam

Jika penerima adalah orang atau kelompok yang sedang memerangi umat Islam atau menggunakan pemberian untuk memperkuat posisi melawan Muslim (misal pendanaan untuk kegiatan permusuhan), maka memberi adalah terlarang dan berbahaya. Kebolehan dalam Al-Qur’an surah Al-Mumtahanah ayat 8 bersifat spesifik untuk yang tidak memerangi atau mengusir. Seorang Muslim perlu membedakan antara non-Muslim yang damai dan yang memusuhi.

Tidak memberi hadiah pada hari-hari ibadah mereka (seperti pada hari raya mereka)

Mayoritas ulama memperingatkan kita untuk berhati-hati agar jangan sampai memberi hadiah yang membuat kita ikut serta dan berpartisipasi mendukung perayaan agama lain. Karena ini termasuk salah satu bentuk ta’awun dan saling membantu dalam perbuatan dosa yang telah Allah larang dalam firman-Nya,

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam kebajikan dan ketakwaan, dan jangan tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah; sesungguhnya Allah amat keras siksa-Nya.” (QS. Al-Ma’idah: 2)

Syekhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab Iqtidha’ Sirath Al-Mustaqiim mengatakan, “Demikian juga, tidak diperbolehkan bagi seorang Muslim pada hari perayaan mereka untuk memberikan hadiah kepada mereka dalam rangka merayakan hari raya tersebut. Apalagi jika dimaksudkan untuk menyerupai mereka, seperti yang telah kami sebutkan (berbagi di hari Natal atau Thanksgiving, misalnya).” (Iqtidha’ Shirath Al-Mustaqim, 1: 227)

Di dalam memberi orang kafir, sangat dianjurkan untuk diniatkan sebagai bentuk dakwah dan melembutkan hati mereka agar menerima Islam

Jika niat pemberi adalah untuk menguatkan silaturahim, meredakan permusuhan, atau mendakwahkan dengan cara yang bijak (ta’lif al-qulub), maka memberi bisa bernilai positif. Ulama klasik dan kontemporer sependapat bahwa niat menjadi faktor penilai tindakan ini. 

Kesimpulan

Secara umum: diperbolehkan memberi hadiah kepada non-Muslim yang tidak memerangi Islam, dengan syarat hadiah itu halal, tidak dipakai untuk memperkuat permusuhan terhadap umat Islam, dan tidak dimaksudkan sebagai partisipasi dalam ibadah (perayaan) agama mereka.

Dalam situasi yang menyangkut keamanan, politik, atau dukungan terhadap praktik yang batil, maka memberi hadiah bisa menjadi haram atau tidak dianjurkan dalam ajaran Islam. Wallahu a’lam bisshowaab.

[Bersambung]

Baca juga: Hukum Hadiah dari Calon Suami kepada Calon Istri dan Walinya

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

Artikel Muslim.or.id


Artikel asli: https://muslim.or.id/110256-fikih-hadiah-bag-1.html